Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan diiringi menurunnya minat terhadap budaya lokal, namun tak menyurutkan semangat para perajin Kain Lurik di daerah Klaten. Salah satunya adalah “Lurik Prasojo” yang memproduksi lurik dengan lebel prasojo. Pemiliknya, Bapak Wahyu Suseno adalah seorang owner CV. Kusumatex dan saat ini dikelola oleh menantu dari putra pertamanya Hanggo Wahyu Amerto, Maharani Setyawan. Lurik Prasojo terletak di Kampung Pencil, Kelurahan Bendo, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Lurik Prasojo merupakan jenis usaha bergerak di bidang tekstil, yaitu membuat kain Lurik yang telah berdiri sejak tahun 1950. Saat ditemui oleh reporter Detail Magazine ditempat kerjanya, Handoyo, Kabag Produksi menceritakan berdirinya Lurik Prasojo. Pada awalnya, tahun 1950 sampai 1964 Lurik Prasojo memproduksi kain Lurik dengan menggunakan alat tenun manual. Dalam memproduksi lurik, awalnya hanya dengan motif dan warna yang masih terbatas (warna klasik). Namun, dengan perkembangan teknologi pada tahun 1965 Lurik Prasojo sudah menggunakan mesin tenun yang produksinya tidak hanya warna dan motif klasik saja. Tetapi warna dan motif yang sudah bervariasi.
Tak hanya itu, kreasi dan inovasinya pun berkembang menjadi lebih banyak dan menarik. Sehingga tidak hanya membuat kain Lurik saja, namun juga membuat aneka ide kreatif lainnya. Seperti, membuat Jarik, kain lap makanan/ serbet, dan selimut. CV Kusumatex mempekerjakan karyawan sebayak 200 orang.Dimana setiap 1 operator mengawasi 4 mesin tenun. Dulunya “Prasojo” hanya mempunyai mesin tenun sebanyak 20 saja, karena produksi terus meningkat kini bertambah menjadi 146 mesin.
Mesin-mesin tersebut terdiri dari 52 mesin produksi lurik, 22 mesin produksi lap makan, dan 72 mesin produksi selimut & jarik. Target dalam satu hari satu mesin dari jam 07.00 WIB sampai jam 15.00 WIB harus memproduksi kain sepanjang 25 meter untuk kain lurik dan lap makan. Sedangkan untuk menghasilkan selimut dan jarik 30 meter dengan waktu yang sama. Hal tersebut berbeda-beda karena kecepatan masing-masing mesin tidak sama.
Perkembangan kain Lurik di era sekarang ini sangat pesat, dengan adanya peraturan pemerintah daerah yang mewajibkan pegawai negeri untuk mengenakan baju lurik atau batik. Lurik Prasojo sangat berterimakasih atas peran Pemerintah Daerah dan Jateng yang saling bersinergi mendukung para perajin Lurik untuk terus meneruskan warisan budaya kain tradisional lurik ini.
Diharapkan dengan adanya usaha yang dirikan saat ini dapat melestarikan budaya kain lurik yang saat ini semakin luntur. Selain itu, kedepannya usaha ini semoga dapat meningkatkan perekonomian warga daerah Klaten dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi warga sekitar.
Maharani Setyawan, seorang wanita kelahiran Wonogiri, 29 Juli 1982 ini adalah pengelola generasi ke 3 usaha lurik ATM (Alat Tenun Mesin) “Lurik Prasojo” di Pencil, Bendo, Pedan, Klaten. Suaminya Hanggo Wahyu Amerto adalah putra pertama dari Bapak Wahyu Suseno owner PT. Kusumatex.
Dengan ide-ide segar dan semangat besar dari Rani alumni AAYKPN fakultas Ekonomi Manajemen tersebut. Perlahan namun pasti, semua berbuah manis. Brand image “PRASOJO” atas Tenun Lurik tersebut melambung naik mampu mengalahkan para pesaing yang ada dan Rani berhasil menembus pasar internasional dengan koleksi fashion dari luriknya.
Menurut Rani, kesuksesan itu bisa diraih siapa saja karena kreativitas diri sendiri dan jadikan bekerja itu seperti hobi. “Yang menunjang untuk sukses berjalannya usaha itu karena kreativitas itu sendiri. Dan saya menjadikan bekerja itu adalah hoby sehingga menyenangkan”, jelas Rani. Karena hebatnya, Rani pernah mendapatkan sebuah Piagam Penghargaan menjadi juri Fashion Show Lurik dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-48 Kabupaten Klaten tahun 2012.
Didalam Showroom Lurik Prasojo terdapat berbagai jenis lurik seperti lurik batik, lurik garis, lurik grimis (dom tlusup), jarik dan masih banyak lagi. Berbagai macam tas, sepatu, kipas, bantal, jaket, baju gamis, rok, celana, topi, kalung, gelang, dan jas terbuat dari bahan Lurik yang harganya beragam mulai dari puluhan ribu sampai jutaan rupiah.
Kain Lurik ATM (Alat Tenun Mesin)
Bila kebanyakan orang melihat kain lurik, maka yang terlihat adalah sehelai kain dengan motif bergaris vertikal atau horisontal, tanpa makna tertentu. Namun, siapa sangka bahwa kain ini punya makna dalam dan kisah panjang dibandingkan sekadar kain bergaris.
Para pencinta kain, pasti sudah tidak asing dengan kain lurik. Sama halnya dengan sasirangan, batik, ulos, songket, dan sejenis kain tradisional lainnya, lurik mampu bersaing di pasaran meski sudah berusia ratusan tahun. Bahkan belakangan ini, lurik sudah banyak digunakan oleh para desainer kondang dalam koleksi busana mereka.
Di Kabupaten Klaten, ada satu desa yang menjadi Sentra Industri Lurik. Desa Tlingsing namanya. Desa yang berada di Kecamatan Cawas ini, mayoritas penduduknya berprofesi sebagai pengrajin lurik. Tercatat sekitar 225 pengrajin lurik ada di sana. Bahkan sejak tahun 2010, pemerintah menganugerahkan Desa Tlingsing sebagai desa wisata kerajinan lurik.
Mayoritas pengrajin lurik di daerah-daerah masih bertahan menggunakan alat tenun manual, meskipun mereka menyadari sedang bersaing dengan pengrajin lurik pabrikan yang memproduksi dengan alat tenun mesin (ATM). ATM mampu menghasilkan lurik dalam jumlah yang lebih massif dan harganya lebih murah. Kendati demikian, lurik asli adalah lurik hasil handmade dari alat tenun bukan mesin. Semua dihasilkan dalam proses yang lebih lama dan ketelitian, sehingga wajar nilai jualnya pun jauh lebih mahal.
Kain Lurik Murah Warna Lengkap Solo Tersedia di Batikdlidir
Kain lurik untuk Anda warga daerah Solo dan sekitarnya. Bagi Anda yang berada diSolo dan sedang membutuhkan kain lurik, silahkan berkunjung ke galeri kami yang terletak di Solo tepatnya di Banjarsari. Silahkan klik Galeri Batikdlidir untuk melihat alamat kami melalui GMaps.
Usia tenun lurik di Indonesia, hampir setua sejarah berdirinya bangsa ini. Dari sejak jaman Majapahit, tenun lurik sudah dikenal masyarakat. Lurik juga muncul pada relief Candi Borobudur. Dimana pada reliefnya tergambar seseorang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Prasasti Raja Erlangga Jawa Timur tahun 1033 ada juga menyebutkan tentang kain tuluh watu. Sementara tuluh watu itu adalah salah satu motif klasik tenun lurik.
Situs kami lainnya di : Kain Batik laweyan.
Makna Filosofis Motif Kain Tenun Lurik
Kata atau istilah lurik berasal dari bahasa Jawa “lorek” atau “rik” atau “lirik-lirik.” Dalam bahasa Jawa kuno lorek berarti lajur atau garis, belang dan dapat pula berarti corak. Dan karena corak kotak-kotal itu terdiri dari garis-garis yang bersilang, maka corak kotak-kotak (cacahan) bisa juga dikategorikan sebagai lurik. Sementara laHal tersebut dikarenakan corak kotak-kotak terdiri dari garis-garis yang bersilang, maka corak kotak-kotak atau cacahan dinamakan pula lurik. Sementara kalau menurut para pakar Kejawen, secara religi “rik” itu berarti garis atau parit dangkal yang membekas yang menyerupai garis yang sulit dihapus.
Sejak zaman dahulu di daerah Jawa banyak dibuat kain tenun lurik yang memiliki aneka ragam corak dengan latar belakang filosofis tinggi. Makanya, di beberapa daerah seperti di Solo atau Yogyakarta, penggunaan kain lurik selalu berbeda-beda, disesuaikan dengan makna dan tujuannya. Motif kain lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita serta harapan kepada pemakainya. Selain itu lurik juga dianggap memiliki kekuatan yang bersifat mistis. Bahkan sebagaian besar masyarakat pada waktu itu juga meyakini, bahwa jika mereka mengenakan pakaian lurik dengan motif tertentu, maka ia akan merasa lebih tenteram karena merasa terlindungi kesejahteraannya.
Motif Telupat
Ciri-ciri motif lurik ‘telupat” adalah kain yang lirik-liriknya selang-seling tiga garis-empat garis/lajur. Motif ini berasal dari kata akronim telu (tiga) dan papat (empat) lajuran, sehingga jika dijumlahkan menjadi pitu atau tujuh garis. Angka 7 merupakan angka keramat yang dalam kepercayaan tradisional Jawa melambangkan kehidupan dan kemakmuran.
Konon motif ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Beliau memilih perbandingan kedua satuan kelompok tersebut dengan perbandingan 3:4 daripada 1:6 atau perbandingan 2:5, karena kecuali serasi untuk dipandang mata, juga mengandung makna falsafah.
Perbandingan 3 : 4 tidak terlalu mencolok, tidak jauh bahkan berdekatan, dibanding dengan perbandingan lainnya. Makna yang terkandung adalah bahwa seseorang yang lebih besar (bukan dalam arti harfiah) seperti umpamanya raja atau penguasa, harus dekat dengan rakyatnya serta harus merupakan pemberi kemakmuran dan kesejahteraan serta pengayom pada rakyatnya.
Motif Tumbar Pecah
Motif Tumbar Pecah diibaratkan orang memecah ketumbar dan seharum aroma ketumbar. Motif ini digunakan untuk upacara tingkeban atau mitoni dengan maksud agar kelahiran berjalan dengan lancar semudah orang memecah ketumbar, ibu dan anak dalam keadaan selamat serta anak menjadi anak yang berguna dan harum namanya.
Motif Udan Liris
Motif Udan Liris artinya hujan gerimis. Di Jawa, ada suatu keyakinan bahwa hujan mengandung konootasi mendatangkan kesuburan. Tak heran jika kemudian motif ini melambangkan kesuburan dan kesejahteraan.
Motif udan liris merupakan salah satu corak yang dipakai penguasa dengan harapan si pemakai diberkati oleh Yang Maha Kuasa dan membawa kesejahteraan bagi para pengikutnya.
Motif Tuluh Watu
Tuluh Watu berarti batu yang bersinar dan dianggap bertuah sebagai penolak bala. Motif ini dapat dipergunakan pada upacara ruwatan sukerta dan sebagai pelengkap sesajen upacara labuhan.
Tuluh dapat berarti pula kuat atau perkasa. Motif Tuluh Watu termasuk sakral, dimana pada masa lalu motif ini hanya boleh dipakai oleh orang tertentu yang berkepribadian kuat dan berbudi luhur.
Di pedesaan kaum wanita pedagang memakai corak ini sebagai selendang untuk membawa barang dalam tugas sehari-hari karena dipercaya mempunyai kekuatan selain kekuatan tenunnya yang kuat.
Kain Tenun Lurik Zaman Now
Sekarang ini pasar tidak lagi peduli tentang warna, jenis, motif, dan makna filosofis di balik sehelai kain tenun lurik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Sekarang ini banyak bermunculan jenis, corak dan warna dasarnya yang diambil dari lurik tradisi dengan sentuhan masa kini yang lebih bervariasi mengikuti tren dunia fashion.
Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung, saya kira bukan gak mungkin tenun lurik semakin termarjinalkan dan lama-kelamaan akan hilang dari peredaran. Dan jika memang itu yang terjadi, berarti memang kita tidak bisa menjadi ahli waris yang dapat menjaga dan mengembangkan warisan adiluhung nenek moyang kita.
Dan barangkali benar, kita tak perlu membawa-bawa masa lampau ke era sekarang. Sekarang sudah era revolusi 4.0 dimana yang mahal dan ribet tak lagi laku, karena yang dibutuhkan serba instant dan yang penting murah.
Informasi mengenai seputar kain lurik maupun kain batik tulis, silahkan hubungi kontak WA :
Pak Muzakir 0822 6565 2222.